FPI Minta Penuntasan Kasus KM 50 Pakai Pengadilan HAM
FAKTA.COM, Jakarta - Advokat dari DPP Front Persaudaraan Islam (FPI) Aziz Yanuar angkat bicara terkait perdebatan antara capres nomor urut 1 Anies Baswedan dengan capres nomor 3, Ganjar Pranowo. Dimana, Anies menyinggung penembakan Km 50 Tol Jakarta-Cikampek 7 Desember 2020 silam.
Diketahui pada salah satu jawabannya, Ganjar menyebutkan jika terpilih jadi presiden akan menghidupkan kembali Undang-Undang 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).
Aziz menjelaskan, untuk menuntaskan kasus Km 50 tidak perlu menghidupkan kembali UU KKR seperti yang disampaikan Ganjar. Sebab, hal itu sudah diatur pada UU Nomor 20/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dia menegaskan, tindakan aparat polisi yang menembak para anggota FPI -dulu Front Pembela Islam- bukan sekadar kejahatan biasa. Menurut Aziz, sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat.
"Instrumen hukum untuk penyelesaian Pelanggaran HAM Berat yang terjadi setelah Tahun 2000 sudah ada yaitu UU 26 Tahun 2000, jadi tidak diperlukan UU baru sebagaimana yang disebut-sebut Ganjar (UU KKR)," ungkap Aziz kepada Fakta.com, Rabu (13/12/2023).
Tragedi Kanjuruhan & Km 50 Dibawa ke Arena Debat PilpresMenurut Aziz, sepatutnya Anies juga berpegangan dengan UU Pengadilan HAM.
"Harusnya anies berpegang pada UU 26 Tahun 2000 juga," tuturnya.
Mantan Wakil Sekretaris Umum FPI ini juga menjelaskan bahwa kasus Km 50 bukan sekadar penembakan biasa. Bahkan diklaim sesuai dengan klasifikasi pelanggaran HAM berat bila merujuk pada pasal 9 huruf a dan f UU 26 Tahun 2000.
"Kasus Km 50 itu adalah bentuk nyata dari gross violation of human rights (pelanggaran HAM Berat) yang sistematis," jelasnya.
Lebih jauh dikatakan, pelakunya kasus Km 50 adalah aparatur negara, yakni Polisi. Menurut Aziz, mereka yang secara sengaja ditugaskan untuk mengintai dan mentarget mantan pentolan FPI Rizieq Shihab beserta pengawalnya.
"Jadi itu bukan peristiwa tembak menembak seperti yang direkayasa oleh satgas merah putih pimpinan Sambo bersama fadhil imran. Tapi ada kekuasaan diatas mereka yang memang merencanakan pembunuhan tersebut dengan target HRS dan pengawalnya," katanya.
Pihak-pihak yang memberikan komando maupun eksekutor, imbuh Aziz sepatutnya diseret ke Pengadilan HAM merujuk pada UU tersebut. Hal itu dikarenakan, kasus Km 50 sekadar pidana biasa.
"Orang-orang yang memiliki rantai tanggung jawab komando dalam peristiwa km 50 ini, mulai dari pelaku by commission (pelaku aktif) maupun pelaku by ommission (pelaku pasif) harus diseret ke pengadilan ke pengadilan HAM," ucapnya.
Adapun Undang-undang KKR pernah dibentuk tahun 2004 untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, pada tahun 2006, UU Nomor 27 Tahun 2004 itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Komentar (0)
Login to comment on this news