Pemilu Prancis Jadi Sinyal Menguatnya Cengkeraman Sayap Kanan di Eropa

Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris pada 10 April 2022.. (Dok.ANTARA/XINHUA)
Place your ads here

FAKTA.COM, Jakarta - Prancis tengah melompat ke dalam ketidakpastian. Demikian inti komentar dari salah satu pengamat politik Prancis, Nicolas Baverez, seperti dikutip media BBC.

Pernyataan tersebut dikemukakan setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan tentang pemilu dipercepat yang digelar di Prancis pada 30 Juni 2024 untuk putaran pertama.

Putaran pertama yang dimaksud karena sistem pemilu Prancis mengharuskan caleg untuk dapat memenangi mayoritas absolut (lebih dari 50 persen) dari dapil konstituen yang hanya mewakili satu kursi.

Seluruh area milik Prancis - termasuk wilayah di luar daratan Eropa yang menjadi bagian dari Prancis- secara total memiliki 577 dapil.

Bila pada putaran pertama tidak ada caleg yang meraih mayoritas absolut, maka dilanjutkan dengan putaran kedua pada 7 Juli 2024.

Mengapa Macron memutuskan untuk menggelar pemilu tahun ini? Hal tersebut karena kemenangan besar Partai Barisan Nasional (Rassemblement National/RN) dalam pemilu Parlemen Eropa yang telah diselenggarakan di Benua Biru tersebut pada 6-9 Juni lalu.

Dalam pemilu Eropa itu, RN menjadi partai dengan suara terbanyak dan memenangi 30 kursi, sedangkan Prancis sendiri memiliki 81 kursi untuk diperebutkan. Sementara itu, hasil untuk koalisi tengah Ensemble yang diusung Macron hanya meraih 13 kursi.

Dengan kemenangan di awal Juni itu, maka banyak pihak terperangah mengapa Macron 'bertaruh' dengan berupaya menggelar pemilu legislatif Prancis pada akhir Juni dan awal Juli ini bila hasilnya relatif akan serupa dengan hasil dalam pemilu Eropa?

Prediksi itu bisa terlihat nyata dari hasil sementara pemilu Prancis putaran pertama. Hasil dari data Kementerian Dalam Negeri Prancis pada Senin (1/7/2024) menunjukkan bahwa RN meraih 33,4 persen, disusul gabungan sayap kiri Front Rakyat dengan 27,99 persen, dan Ensemble di posisi ketiga dengan 20,04 persen.

Keunggulan partai sayap kanan RN membuat banyak pihak cemas karena sejumlah program yang akan ditawarkannya. Misalnya, rencana untuk tidak akan menyertakan orang dengan dwikebangsaan guna dapat menjabat di posisi strategis kenegaraan, yang hanya diperuntukkan bagi warga Prancis tanpa dua kewarganegaraan.

Dengan demikian, diperkirakan jutaan orang yang memiliki kewarganegaraan lain, seperti Prancis-Aljazair, Prancis-Maroko, atau Prancis-Tunisia akan dikesampingkan atau bahkan bisa didiskreditkan.

Seorang senator sayap kiri Prancis, Pierre Ouzoulias, dalam platform X seperti dikutip dari media Guardian, menyatakan bahwa gagasan sejumlah jabatan tertentu akan mengecualikan orang-orang dengan kewarganegaraan ganda dapat menunjukkan "visi berbasis etnis dalam bangsa yang membeda-bedakan orang Prancis yang baik atau buruk berdasarkan asal muasalnya".

Sebelumnya pada 2022, capres RN Marine Le Pen mengusulkan agar menghentikan hak "reunifikasi anggota keluarga" bagi orang asing yang memiliki izin tinggal di Prancis, serta mengusulkan untuk menghentikan hak kewarganegaraan otomatis bagi setiap bayi yang dilahirkan oleh orang asing yang bertempat tinggal di Prancis.

Le Pen juga beberapa kali telah mengusulkan pelarangan penggunaan hijab di tempat publik, serta mengusulkan pelarangan produksi daging halal, sehingga sejumlah kalangan menilai RN sebagai islamofobia.

Sayap kanan di Eropa kerap disebut sebagai gerakan yang anti-imigran serta mengkritik multikulturalisme. Mereka ingin agar "budaya asli" Eropa yang bisa untuk dilestarikan serta dijunjung tinggi, sehingga kerap tuduhan rasisme disematkan ke kelompok ini. (ANT)

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Infografis
//