Penjelasan Anak Buah Sri Mulyani Soal Utang Indonesia
FAKTA.COM, Jakarta - Pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal Indonesia cicil utang Rp1.000 triliun per tahun terus mendapat respons dari pemerintah. Setelah dibantah Menteri Keuangan Sri Mulyani, kini giliran staf khusus Menkeu Yustinus Prastowo ikut berkomentar.
Yustinus menjelaskan secara detail soal pembayaran bunga utang pemerintah melalui akun Twitter-nya @prastow pada 1 Juni 2023. Dalam cuitannya itu, Yustinus juga membantah pernyataan Jusuf Kalla soal nilai cicilan utang.
"Kita tidak mengeluarkan Rp1.000 T per tahun untuk membayar utang seperti yang disampaikan oleh Pak JK. Bu Sri Mulyani sudah merespon ini," tulis Yustinus.
Anak buah Sri Mulyani ini pun merinci total pembayaran utang yang telah berjalan dalam periode 2017-2021. Dalam penjelasan yang mengutip data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, tak ada satu pun nilai yang mencapai Rp1.000 triliun.
Secara rinci, pada 2017 pembayaran utang pemerintah baik itu cicilan dalam negeri dan cicilan pokok luar negeri plus bunganya hanya mencapai Rp566,78 triliun. Kemudian angka itu naik menjadi Rp759,26 triliun pada 2018, Rp837,91 triliun pada 2019.
Masuk pada 2020, total pembayaran cicilan utang turun ke level Rp770,57 triliun sebelum akhirnya naik menjadi Rp902,37 triliun pada 2022.
"Dalam pembayaran pokok dan bunga utang, Pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga. Berikut datanya. Transparan tiada yang perlu ditutupi, sdh diaudit BPK," kata Yustinus menambahkan.
Lantas, Yustinus melanjutkan penjelasannya ke rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 39,17% per April 2023 dari 39,57% pada akhir 2022. Menurut Yustinus, Indonesia punya kemampuan recovery yang baik dan bisa menurunkan debt ratio.
Tak hanya itu saja, dia juga menunjukkan tingkat kepatuhan fiscal rule yang membuat PDB naik lebih besar daripada utang. Kemudian soal multiplier effect dari utang pemerintah terhadap perekonomian, hingga postur utang yang sebagian besar dalam mata uang Rupiah.
"Sebagian besar utang Indonesia dalam mata uang Rupiah. 73% utang Indonesia berasal dari SBN domestik. Tentu hal ini baik untuk menekan market risk dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah." -Yustinus Prastowo melalui akun Twitter @prastow.
Melanjutkan cuitannya, Yustinus pun menunjukkan risiko utang Indonesia dilihar dari debt service ratio (DSR) yang pada 2020 sebesar 47,3%, kemudian menjadi 34,4% pada 2022 dan per April 2023 di level 28,4%.
Selanjutnya, dia juga memperlihatkan credit rating Indonesia dari lembaga pemeringkat kredit seperti Standard & Poor's, Moody's, dan Fitch yang pada level BBB/Baa2 dengan outlook stabil. Selain itu, Yustinus memaparkan manfaat melebihi utang.
"Sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp5.125,1 masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas (Perlinsos, Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur) sebesar Rp 8.921 T," tutur Yustinus.
Di sisi lain, Yustinus juga mengungkapkan bahwa utang BUMN bukan beban APBN. "Mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, segala utang yang timbul atas corporate action merupakan tanggung jawab BUMN yang bersangkutan dan bukan merupakan utang negara," cuit Yustinus.
Menutup cuitannya, Yustinus pun meminta masyarakat untuk jangan pernah mau ditakut-takuti dan dikerdilkan. "Indonesia bangsa besar. Kita punya visi besar. Pancasila adalah pandu, penunjuk arah menuju cita2 kemerdekaan," kata Yustinus menutup cuitannya.
Komentar (0)
Login to comment on this news