Swasembada Gula Jauh Panggang dari Api
FAKTA.COM, Jakarta - Wacana swasembada gula tengah jadi perhatian pemerintah. Bahkan, dua menteri telah menyampaikan rencana besar untuk periode 2030 itu.
Salah satunya Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman yang mengungkapkan rencana 1 juta hektare lahan di Papua untuk mencapai cita-cita itu. "Lahan tersebut terbuka bagi investor dalam dan luar negeri. Saat ini, sudah ada investor yang mulai menanam bibit tebu," katanya.
Kemudian, Menteri BUMN, Erick Thohir yang menegaskan kembali Perpres Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). "Indonesia jangan jadi pecundang dengan menjadi market saja. Kita menantang semua untuk swasembada gula 2030," ucap Erick.
Menanggapi kabar itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan bahwa cita-cita swasembada gula jauh panggang dari api. Pasalnya, konsumsi gula saat ini tergolong sangat besar dan tidak mampu dipenuhi oleh tingkat produksi dalam negeri.
Swasembada Gula jadi Omongan Mentan dan Menteri BUMN, Ada Apa?Hal itu yang kemudian membuat keran impor dibuka lebar sejak era pemerintahan sebelumnya. "Impor tahun 2000-an itu kira 3,5 juta ton dan sekarang impor gula sudah 6 juta ton. Jadi konsumsinya besar, sementara produksinya mengalami stagnasi," ujarnya kepada Fakta.com, Kamis (14/11/2023).
Menurut Andreas, biaya produksi di dalam negeri yang relatif mahal membuat pelaku usaha lebih memilih gula impor karena dianggap punya harga lebih kompetitif.
"Harga impor lebih murah, tapi orang sering kali lupa kalau harga yang terbentuk di pasar internasional itu karekternya low artifical price. Artinya, dia murah tapi amat sangat fluktuatif dan gampang bergejolak, seperti saat ini ketika harga bahan pangan naik," katanya.
Swasembada gula 1980
Pendirian pabrik gula tidak semudah pendirian unit produksi lain. Sebab, pengusaha harus pula memiliki konsesi lahan untuk memenuhi produksinya.
Menurut Andreas, biaya mendirikan pabrik gula sekitar Rp3 triliun. Belum lagi harus cari lahan supaya biasa produksi.
Sementara petani lebih pilih menanam komoditas tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti padi atau jagung. "Jadi bagaimana mau mau swasembada gula, kita saja impor naik dari 3,5 juta ton menjadi 6 juta ton. Ini seperti jauh panggang dari api," kata Andreas menegaskan.
Andreas menyebut Indonesia pernah menjadi bagian penting dari industri gula nasional. Menurut dia, pada 1930-an saat masih menjadi wilayah koloni Belanda, Indonesia merupakan pengekspor gula terbesar dunia.
Prestasi ini setidaknya sempat dipertahankan oleh Presiden Soeharto meski tidak lagi menjadi penyuplai utama gula dunia.
"Tahun 1980 kita bisa swasembada gula karena ada mandatori ke petani untuk menanam tebu. Kewajiban ini dilakukan bergilir, jadi misalnya daerah A menanam tebu pada periode sekarang, lalu selanjutnya ke daerah B, C, D dan seterusnya," ucap dia.
Dorong Swasembada Gula, Pemerintah Siapkan Lahan 1 Juta Ha di PapuaAndreas berharap ada intervensi dari pemerintah selain rencana pembukaan lahan tebu di Papua. Beberapa di antaranya adalah pengaturan harga beli tebu yang menguntungkan bagi petani, pengaturan bea impor sehingga harga produksi lokal bisa bersaing, serta kemudahan berinvestasi bagi swasta yang didukung oleh perkebunan tebu yang memadai.
"Kalau harganya menarik, otomotasi petani juga pasti akan beralih menanam tebu," kata Andreas menutup.
Komentar (0)
Login to comment on this news