Cerita Sri Mulyani Bawa RI Keluar dari Candu Utang
FAKTA.COM, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa APBN merupakan instrumen yang paling diandalkan untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu. Menurut Menkeu, APBN hadir dengan memberikan bantuan penting kepada masyarakat, termasuk biaya perawatan pasien hingga berbagai bantuan sosial.
“Ini kemudian menjadi biaya (yang ditanggung oleh) negara,” ujarnya saat memberi kuliah umum di Jawa Tengah yang dipantau secara daring, Senin (23/10/2023).
Menkeu menjelaskan situasi genting itu memaksa belanja negara yang lebih besar dari pola normal. Sebaliknya, sumber penerimaan drop karena mobilitas masyarakat yang sangat terbatas.
“Suasana di kabinet saat itu bilang: Bu Menteri, Amerika itu defisitnya (anggaran/APBN) bisa sampai 10%, begitupun dengan India. Masak Indonesia hanya naik ke 5%. Ini ekonomi bisa habis, masyarakat bisa menjadi korban,” tuturnya.
Turun Tajam, Pembiayaan Utang APBN Rp198 TriliunMenghadapi kondisi itu, Menkeu menyebut pembukaan keran defisit mesti dilakukan secara proporsional walau dalam situasi yang pelik.
“Alhamdulilah, Indonesia pada 2020 defisitnya tetap dengan 6,1%. Sesudah itu pada 2021 defisit 4,6% dan 2022 sebesar 2,4%. Ini sesuai dengan Perpu 1 Tahun 2020 yang memperbolehkan defisit di atas 3% selama tiga tahun,” katanya.
Menkeu menyebut strategi itu berhasil dan kini APBN telah kembali sehat dengan defisit anggaran di bawah 3% sesuai pattern normal.
“Pengalaman banyak negara, jika sekali membuka defisit sampai tidak ada batasnya maka akan terjadi addict (kecanduan), karena defisit itu enak. Tapi kita lihat banyak negara Amerika Latin dari tahun 80-an hingga 90-an itu banyak yang mengalami krisis utang. Sekarang banyak negara Afrika dan middle income (yang krisis utang). Sebanyak 60 negara dalam kondisi kerentanan utang,” tegas dia.
Utang Luar Negeri Indonesia US$395,1 Miliar, Terendah Tahun Ini“Jadi kami hanya memberikan waktu tiga tahun (pelebaran defisit APBN) untuk kembali ke posisi normal. Ini yang kemudian disebut sebagai disiplin fiskal,” sambung Menkeu.
Untuk diketahui, disiplin fiskal yang dimaksud mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sepasang beleid itu mengatur jika defisit anggaran tidak boleh melampaui 3% PDB dan jumlah utang negara dilarang melebihi porsi 60% PDB per tahun.
“Ini adalah agreement (rancangan) yang kita adopt dari Eropa dan sudah dipakai disana, bahkan sebelum mereka membentuk Uni Eropa. (Tapi lucunya) Negara Eropa seperti Italia, Spanyol, Portugal, bahkan Prancis dan Jerman itu mereka utangnya bahkan sudah lebih dari 60%. Mereka juga defisitnya di atas 3%. Jadi mereka yang tadinya disiplin (fiskal) menjadi tidak,” tegas Sri Mulyani.
Bayar Utang dan Stabilisasi Rupiah, Cadev Tersisa US$134,9 MiliarMengutip laporan terbaru Kementerian Keuangan diketahui bahwa jumlah utang pemerintah sampai dengan akhir Agustus 2023 adalah sebesar Rp7.870,35 triliun atau setara 37,84 persen PDB. Rasio utang tersebut menurun dibandingkan akhir 2022 dan berada di bawah batas aman 60% PDB.
Adapun, dalam Undang-Undang APBN 2023 defisit anggaran dirancang sebesar Rp598,2 triliun atau 2,84% dari PDB. Menariknya, hingga 31 Agustus 2023 APBN masih mencatatkan surplus Rp147,2 triliun.
Sementara dalam Rancangan APBN 2024 yang telah disahkan oleh DPR, defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29% dari PDB.
Komentar (0)
Login to comment on this news