Faktor Latte, Sedikit-sedikit Lama-lama Jadi 'Boncos'

Ilustrasi secangkir coffee latte. (foto Brodie Vissers)
Place your ads here

FAKTA.COM, Jakarta - Sulit tampaknya menolak secangkir coffee latte atau cappucino hangat di pagi hari dengan setungkup roti dan pastri untuk sarapan. Kopi atau asupan kafein baik untuk tubuh sebelum memulai aktivitas, terlebih percepatan kegiatan yang menuntut kita untuk secepat mungkin menuntaskan pekerjaan.

Namun, kebaikan kopi itu datang dengan harga yang tergolong 'mahal' dalam artian jika kalian melakukan rutinitas itu setiap hari, terlebih bagi mereka yang menganggap sepele pengeluaran senilai Rp20.000-Rp50.000 untuk secangkir kopi dan kalikan sebulan.

Pengeluaran semacam itu, mudahnya disebut sebagai "latte factor".

Idiom latte factor ditemukan oleh David Bach, seorang penulis finansial ternama, yang menangkap fenomena bentuk pengeluaran untuk hal yang sebenarnya tidak perlu, yang terlihat kecil dan tanpa sadar dilakukan terus menerus, berujung 'boncos' jika dihitung secara seksama.

Penggunaannya dalam latte factor merujuk pada kebiasaan orang yang tanpa sadar membeli kopi secara rutin dengan tujuan meningkatkan produktivitasnya.

'Lagu Lama Kaset Baru' Dalih Coldplay Cuma Konser Sehari

Menurut David Bach, kopi adalah salah satu pengeluaran skala kecil yang total pengeluarannya bisa melebihi biaya kebutuhan hidup seperti listrik dan air jika dilakukan secara rutin dalam sebulan. Pengeluaran untuk kopi tersebut sebenarnya tidak penting, tapi karena terus menerus dilakukan, dampaknya akan terasa pada pengelolaan keuangan.

Selain kopi, pengeluaran untuk baju, kosmetik, transportasi online, potongan bank juga merupakan latte factor. Ragam situasi untuk bisa melihatnya secara jernih, terlebih di kota besar akan sangat terkait dengan gaya hidup termasuk lingkungan dan membuatnya kegiatan 'latte factor' jadi kebiasaan yang sebenarnya tidak biasa dalam kapasitas pengeluaran finansial.

Berbicara mengenai latte factor tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan keuangan. Latte factor sendiri bukan hanya tentang konsumsi kopi yang berlebihan, tetapi juga mendeskripsikan berbagai macam pengeluaran kurang penting yang rutin dilakukan. Contoh, pengeluaran untuk membeli camilan, makan di luar, rokok, membeli minuman dalam kemasan, dan masih banyak lagi.

Langkah terbaik untuk mengidentifikasi latte factor yang kita miliki adalah dengan melacaknya. Caranya adalah dengan membuat catatan pengeluaran untuk setiap sen yang kita keluarkan setiap hari. Manfaatkan juga fitur mutasi rekening untuk melacak pengeluaran dan pemasukan.

iPhone 15 Diprediksi Jadi Gawai Tercanggih

Pencatatan pengeluaran tersebut harus dilakukan secara konsisten setidaknya selama satu hingga tiga bulan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan begitu, kita bisa mengidentifikasi area terlemah dalam pengeluaran dengan lebih baik.

Jika kalian sudah menemukannya, kita bisa mengurangi latte factor sesuai dengan kemampuan finansial yang ada. Meski begitu, latte factor sendiri bukan tentang mengorbankan kebahagiaan yang berhak kita dapatkan dari “latte” dalam secangkir kopi, melainkan perlu jadi saringan antara kebutuhan atau keinginan untuk memberikan nilai lebih secara materi dalam hidup.

Jika dapat mengurangi atau bahkan meniadakan pengeluaran ekstra, untuk apa mengeluarkannya. Pengalihan uang ekstra tersebut bisa kalian manfaatkan untuk hal lain, seperti investasi, pendidikan, kesehatan atau hal-hal lain yang kalian pikir mampu menambah kualitas hidup tanpa mengorbankan terlalu banyak pengeluaran.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Infografis
//